I. TUJUAN
- Mahasiswa mampu mengetahui ada tidaknya antibodi spesifik terhadap
antigen Salmonella sp. dalam serum.
- Mahasiswa mampu mengetahui cara pemeriksaan widal.
- Mahasiswa mampu menjelaskan hasil dari praktikum (jumlah titer)
II. DASAR TEORI
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica,
terutama serotype Salmonella typhi (S. typhi). Demam tifoid (termasuk paratifoid) disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A,
Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C. Bakteri ini termasuk
Gram negatif yang memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang,
berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H dan
Vi. Sistem imun memungkinkan tubuh mengenali benda asing (bakteri) yang
memasuki tubuh dan merenspon terhadapnya. Sel limfosit B ditransformasi
menjadi sel plasma, yang menghasilkan antibody, dengan kemampuan yang
khas terhadap protein asing tertentu atau antigen (respon imun humoral).
Berbagai unsur dari mikroorganisme bersifat protein, terikat pada protein, atau
berupa molekul karbohidrat besar dan bersifat antigenic (Mulyanto dan
Wardani, 2020).
S. typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat anaerobik
fakultatif, tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang
biak di dalam sel kariotik. Di samping itu mempunyai beberapa antigen:
antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer Membrane Protein terutama porin
OMP (Wardhani, 2005).
Untuk menentukan penyebab demam, dahulu pada setiap penderita
demam dilakukan uji serologi untuk menyatakan adanya antibodi terhadap
antigen penyebab demam (febrile agglutinins). Sejak awalnya reaksi Widal
ditemukan sebagai uji serologi pada demam tifoid. Beberapa cara yang lebih
mutakhir sudah ada namun di Indonesia agaknya reaksi Widal masih perlu
dilakukan. Dari 17 golongan berdasarkan antigen O yang dimiliki Salmonella,
terdapat 5 golongan yang dapat menginfeksi manusia,yaitu golongan A,B,C, D
dan E. Selain antigen O, Salmonella mmepunyai antigen H yang terdapat pada
flagella dan antigen Vi yang tidak dipakai untuk mendiagnosis tetapi hanya
digunakan untuk mendeteksi carrier. Antigen H tahan terhadap formalin, tetapi
tidak tahan terhadap panas, fenol atau alcohol. Sedangkan antigen O tidak
terpengaruh oleh zat tersebut, dan kenyataaan ini dipakai untuk memisahkan
kedua jenis antigen ini (Marliana, 2018)
Serotipe Salmonella yang sering dipakai di sini adalah : dari golongan
A, yaitu Salmonella paratyphi A dengan antigen O dan H, dari golongan B,
yaitu: S. paratyphi B dengan antigen O dan H, dari golongan C, yaitu
Salmonella paratyphi C antigen O dan H dan S. typhi dari golongan D dengan
antigen O dan H (Marliana, 2018).
Diagnosis demam tifoid cukup sulit karena gejala kliniknya tidak khas,
sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium. Ada beberapa metode
diagnosis yang biasa digunakan. Uji widal merupakan pemeriksaan dengan uji
aglutinasi, namun sensitivitas dan spesifitasnya rendah. Biakan darah yaitu
isolasi kuman dari bagian tubuh, memiliki sensitivitas yang lebih baik dari uji
widal. Tes tubex mendeteksi adanya antibodi anti-Salmonella typhi pada serum
dapat dilakukan dengan cepat. Teknik PCR digunakan untuk mengamplifikasi
gen spesifik S. typhi menunjukkan hasil yang akurat dan cepat, namun sulit
digunakan dan biayanya mahal. Sedangkan sistem pakar hanya tindakan awal
dalam diagnosis demam tifoid dan hasilnya tidak akurat (Kautsar dan Setiana,
2016).
Uji Widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih
digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia.
(Wardhani, 2005).
Uji Widal dapat dilakukan dengan metode tabung atau
dengan metode peluncuran (slide). Uji Widal dengan metode peluncuran dapat
dikerjakan lebih cepat dibandingkan dengan uji Widal tabung, tetapi ketepatan
dan spesifisitas uji Widal tabung lebih baik dibandingkan dengan uji Widal
peluncuran. Uji Widal yang beredar saat ini sebagian besar menggunakan
antigen S. typhi bukan dari daerah endemis setempat, sehingga kurang spesifik
dibandingkan dengan uji Widal tabung dengan antigen S. typhi dari daerah
endemis setempat.(Wardhani, 2005).
Kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid masih kontroversial
di antara para ahli karena hasil yang berbeda-beda. Senewiratne et al. (1977)
menyatakan bahwa uji Widal bernilai diagnosis yang tinggi untuk demam
tifoid (94,3%), asalkan dapat diketahui titer antibodi di orang normal dan
penderita demam nontifoid. Pang dan Puthucheary mengatakan bahwa uji
Widal masih merupakan pilihan cara yang praktis sehubungan dengan
kesulitan dalam memeriksa bakteri di negara berkembang. Hampir semua ahli
sepakat bahwa kenaikan titer aglutinin 4 kali terutama aglutinin O atau
aglutinin H dalam jangka waktu 5–7 hari bernilai diagnostik amat penting
untuk demam tifoid. Sebaliknya peningkatan titer aglutinin yang tinggi pada
satu kali pemeriksaan Widal terutama aglutinin H tidak memiliki arti
diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Namun demikian, masih dapat
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid di penderita dewasa yang
berasal dari daerah nonendemik atau anak umur kurang dari 10 tahun dari
daerah endemik. Sebab di kelompok penderita ini kemungkinan terkena S.typhi
dalam dosis subterinfeksi masih amat kecil (Wardhani, 2005).
III. METODE
Widal slide (direct agglutination)
IV. PRINSIP
Adanya antibodi Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dalam serum
sampel akan bereaksi dengan antigen yang terdapat dalam reagen Widal.
Reaksi dengan adanya aglutinasi.
VII. INTERPRETASI HASIL & NILAI NORMAL
• Positif: Terjadi aglutinasi mengindikasikan adanya antibodi antisalmonella di dalam sampel.
• Negatif: Tidak terjadi aglutinasi mengindikasikan tidak adanya antibodi
antisalmonella di dalam sampel.
Nilai normal : tidak ada
VIII. HASIL PEMERIKSAAN
Slide 1-3 = Hasil titer : antigen O = 1:80
Slide 6-7 = Hasil titer : antigen H = 1: 20
Slide 9 = Hasil titer : antigen AH = 1:20
IX. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali
ini dilakukan pemeriksaan terhadap sampel darah dari probandus untuk
menguji apakah terdapat antibodi bakteri Salmonella thypi dan Salmonella
pharathypi. Hasil dari pemeriksaan kali ini didapatkan bahwasanya terjadi
aglutinasi yang mengindikasikan adanya antibodi anti-salmonella di dalam
sampel. Hasil menunjukkan bahwa jumlah titer terhadap antigen O adalah 1:80,
terhadap antigen H 1: 20 dan terhadap antigen AH 1: 20. Hasil jumlah titer
terhadap antigen-antigen ini didapatkan dengan melakukan pemeriksaan widal test
menggunakan metode widal slide atau direct agllutinastion. Aglutinasi langsung
terjadi ketika antigen ditemukan secara alami pada sebuah partikel. Salah satu
contoh terbaik dari pengujian aglutinasi langsung melibatkan antigen bakteri
yang diketahui digunakan untuk menguji
keberadaan antibodi yang tidak diketahui pada pasien. Biasanya, serum pasien
diencerkan menjadi serangkaian tabung atau sumur pada kaca objek dan
direaksikan dengan antigen bakteri khusus untuk penyakit yang dicurigai.
Deteksi antibodi terutama digunakan dalam diagnosis penyakit yang agen
bakterinya sangat sulit dibudidayakan. Salah satu contohnya adalah tes Widal,
tes skrining cepat yang digunakan untuk membantu menentukan kemungkinan demam
tifoid. Temuan yang signifikan adalah peningkatan empat kali lipat dalam titer
antibodi dari waktu ke waktu ketika pengenceran sampel serum diuji dengan salah
satu antigen ini. Meskipun tes yang lebih spesifik sekarang tersedia, tes Widal
masih dianggap berguna dalam mendiagnosis demam tifoid di negara berkembang dan
tetap digunakan di banyak wilayah di seluruh dunia.
Beberapa
antigen yang bakteri ini adalah sebagai berikut :
1.
Antigen O Antigen O merupakan somatik yang
terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari
lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam,
alkohol dan asam yang encer.
2.
Antigen H Antigen H merupakan antigen yang
terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein.
S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa
Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan
pada pemberian alkohol atau asam.
3.
Antigen Vi Antigen Vi terletak di lapisan
terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan
struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu
60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui
adanya karier.
4.
OuterMembrane Protein (OMP) Antigen OMP S
typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan
lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP
ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin
merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan
merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <
6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C.
Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein,
bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui
dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat
spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa (Wardhani, 2005)
Masa
inkubasi dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini adalah sakit adalah
7–14 hari, namun bisa lebih pendek, yaitu sekitar tiga hari atau lebih panjang
hingga 30 hari. Masa ini dihitung dari saat bakteri masuk ke dalam tubuh sampai
menimbulkan gejala awal. Gejala yang muncul secara bertahap sebagai berikut :
Minggu ke-1
Gejala-gejala awal
yang patut diperhatikan, khususnya terkait perkembangan suhu badan penderita
adalah:
·
Demam yang awalnya tidak tinggi, kemudian
meningkat secara bertahap hingga mencapai 39–40°C
·
Sakit kepala
·
Lemas dan tidak enak badan
·
Batuk kering
·
Mimisan
Minggu
ke-2
Jika tidak segera
ditangani, pasien akan memasuki stadium kedua dengan gejala:
·
Demam tinggi yang masih berlanjut dan
cenderung memburuk di malam hari, disertai denyut nadi yang lambat
·
Muncul bintik-bintik yang berwarna seperti
bunga mawar di daerah perut dan dada
·
Mengigau
·
Sakit perut
·
Diare atau sembelit parah
·
Tinja umumnya berwarna kehijauan
·
Perut kembung akibat pembengkakan
hati dan empedu
Minggu
ke-3
Suhu tubuh menurun
pada akhir minggu ketiga. Jika tidak ditangani, penyakit tipes bisa menyebabkan
komplikasi berupa:
·
Perdarahan pada usus
·
Pecahnya usus
Minggu
ke-4
Demam
tifoid secara berangsur-angsur akan turun. Namun, tetap perlu segera ditangani
agar tidak muncul gejala-gejala lain atau menyebabkan komplikasi yang
membahayakan nyawa. Pada sebagian kasus, gejala dapat kembali muncul dua minggu
setelah demam reda.
Segera
konsultasikan kepada dokter jika mengalami demam tinggi dan beberapa gejala di
atas. Ingat, walaupun telah menerima vaksin atau imunisasi,
seseorang masih berisiko menderita tipes. Pemeriksaan juga sebaiknya dilakukan
jika terserang demam setelah berkunjung ke tempat dengan kasus penyebaran tifus
yang tinggi (Willy, 2020).
Tes
widal dilakukan ketika Saat gejala yang muncul dicurigai akibat tifus, tahap
diagnosis pertama yang dokter lakukan adalah menelusuri riwayat perjalanan
penyakit. Dokter akan menanyakan kebersihan makanan dan tempat tinggal, serta
riwayat munculnya keluhan yang dialami Kemudian dokter akan melakukan
pemeriksaan fisik, antara lain memeriksa suhu tubuh, melihat tampilan permukaan
lidah, memeriksa bagian perut mana yang nyeri, dan mendengarkan bunyi usus. Untuk
memastikan apakah pasien menderita tifus, salah satu jenis tes yang dapat
direkomendasikan oleh dokter adalah tes Widal. Dalam pemeriksaan Widal, pasien
akan diminta menjalani proses pengambilan darah. Setelah itu, sampel darah akan
dikirim ke laboratorium untuk diperiksa.
Diagnosis
tifus dapat dipastikan melalui tes Widal ulang, yang dilakukan 5-7 hari setelah
tes pertama. Pasien dinyatakan positif menderita tifus bila jumlah
antibodi Salmonella naik sampai empat kali lipat dibandingkan
tes pertama (Noya, Alert B.I. 2019).
Bila
mengalami gejala tipes atau DBD, Anda perlu berkonsultasi dengan dokter. Dokter
akan menanyakan gejala yang Anda rasakan, melakukan pemeriksaan fisik, serta
melakukan beberapa pemeriksaan penunjang, seperti tes darah, untuk mengetahui
penyebab gejala tersebut
Pemeriksaan hitung darah lengkap pada
penderita demam berdarah dilakukan untuk menilai kekentalan darah, jumlah sel
pembekuan darah (trombosit atau keping darah), serta jumlah sel darah merah
atau hemoglobin. Pemeriksaan darah dapat
dilakukan secara berkala setiap hari.
Berbeda
dengan demam berdarah, pemeriksaan darah bagi penderita tipes bertujuan untuk
melihat antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Pengobatan
kedua penyakit ini juga berbeda. Pengobatan utama DBD dilakukan dengan memenuhi
kebutuhan cairan tubuh, sedangkan penyakit tipes memerlukan antibiotik untuk
menghilangkan infeksi (Nugraha, 2019).
Komentar
Posting Komentar